DINAMIKA KEHIDUPAN
KELOMPOK MINORITAS AGAMA/KEYAKINAN DI SIDOARJO
DARI DISKRIMINASI
HINGGA RESISTENSI
Sidoarjo
merupakan salah satu kota industri yang berkedudukan sebagai penyokong kota
Surabaya. Berbicara mengenai kota industri pastinya terdapat banyak sekali
keberagaman pada masyarakatnya baik itu
suku, ras, maupun agama atau keyakinan. Namun kebanyakan masyarakat, seperti
halnya di Sidoarjo, atas adanya perbedaan keyakinan menimbulkan adanya
diskriminasi terhadap kaum minoritas. Diskriminasi merujuk pada pelayanan yang
tidak adil terhadap individu atau kelompok tertentu, dimana layanan ini dibuat
berdasarkan karakteristik yang diwakili oleh individu atau kelompok tersebut.
Diskriminasi
merupakan suatu kejadian yang biasa di jumpai pada masyarakat,ini di sebabkan
karena kecenderungan manusia untuk membeda-bedakan yang lain. Salah satu contoh
yang telah dipaparkan adalah Jemaah Ahmadiyyah yang merasakan diskriminasi yang
cukup kuat dari kaum mayoritas bahkan terhadap pemerintah daerah sendiri dengan
alasan menganggap Ahmadiyyah merupakan aliran sesat sehingga pemerintah
memperlakukan mereka dengan berbeda.
Selain Ahmadiyyah, kaum minoritas lain
(Non-muslim) juga merasakan hal yang sama, seperti masyarakat yang ber Agama
Kristen, hindu, budha,dll yang merasakan betul diskriminasi terhadap kaum
minoritas di sidoarjo seperti sulitnya perijinan pendirian rumah ibadah, tidak
adanya bantuan sosial keagamaan, tidak adanya pengajaran keagamaan sesuai
keyakinan siswa di sekolah, dan masih banyak lagi. Walaupun kaum minoritas ini
merasakan ketidakadilan dari pemerintah daerahnya, namun mereka hanya memilih
diam, tidak berontak, tidak menuntut sesuatu yang rumit dengan alasan tidak ingin
ada masalah yang dapat menyebabkan integrasi yang sudah berjalan terganggu,
mereka hanya ingin mempunyai hubungan baik dengan pemerintah dan tempat tinggal
mereka tidak diusik, mereka bisa melakukan ibadah dengan tenang tanpa gangguan
hingga mereka bisa diterima oleh lingkungan sosialnya.
Berbicara
mengenai Agama, beberapa ahli berbeda dalam memberikan pandangannya mengenai
Agama atau keyakinan. Menurut Karl marx, agama adalah candu bagi rakyat, Marx
melihat agama sebagai sumber kebahagiaan, meskipun ilusi dan sementara atau
setidaknya sumber penghiburan. Marx melihat agama sebagai bagian yang tidak
perlu dari kebudayaan manusia. Jika dikaitkan dengan kejadian lokal di sidoarjo
mengenai diskriminasi kelompok minoritas karena perbedaan agama/keyakinan, marx
ada benarnya bahwa agama merupakan bagian yang tidak perlu dari kebudayaan jika
agama hanya dijadikan sebagai alat untuk mendiskriminasi kelompok tertentu.
Suatu agama atau keyakinan seharusnya menjadi
pemersatu seperti yang di kemukakan oleh Emile Durkheim, ia mengatakan bahwa
agama adalah instrumen solideritas sosial yang berfungsi untuk mengintegrasikan
sistem sosial. Mengintegrasikan bagian-bagian yang terpisah bersama-sama dan
menjadikannya satu kesatuan. Saya setuju dengan pandangan Emile durkeim tersebut
karena memang agama itu seharusnya dijadikan sebagai suatu integrasi sosial
bukan merupakan alat untuk mendiskriminasi suatu kelompok dan menimbulkan
perpecahan. Max weber memandang agama seperti halnya Durkheim, mereka sama-sama
melihat bahwa ada keterkaitannya dengan kehidupan sosial atau memberikan dampak
dan pengaruh baik langsung maupun tidak terhadap realitas kehidupan manusia.
Jika
pemerintah dan masyarakat sidoarjo berpikir bahwa agama merupakan sesuatu yang
memiliki fungsi sendiri didalam kehidupan, maka persoalan agama mayoritas dan
minoritas mau keyakinan-keyakinan lain tidak akan menjadi masalah yang
menyebabkan salah satu pihak merasakan ketidakadilan atau diskriminasi kerena
agama memiliki fungsi tersendiri terhadap kehidupan individu atau kelompok.
Membahas
mengenai permasalahan sosial yang ada di masyarakat, tentunya berkaitan dengan
tiga paradigma dalam sosiologi, yakni paradigma fakta sosial, paradigma
definisi sosial, serta paradigma perilaku sosial. Paradigma dimaknai sebagai pandangan
yang mendasar tentang apa yang menjadi pokok persoalan dalam ilmu pengetahuan.
Yang pertama,Paradigma
fakta sosial, berdasarkan paradigma ini, masyarakat dipandang sebagai fakta
yang berdiri sendiri, terlepas dari persoalan apakah individu suka atau tidak
suka. Struktur masyarakat yang mencakup bentuk pengorganisasian, hierarki
kekuasaan dan wewenang,peranan, nilai-nilai, pranata sosial merupakan suatu
fakta yang terpisah dari individu, namun ikut mempengaruhi individu tersebut.
Contoh penting paradigma fakta sosial digunakan Emile Durkheim, ia berpendapat
bahwa hidup sosial manusia adalah fakta tersendiri yang tidak mungkin di
mengerti berdasarkan ciri-ciri personal individudalam masyarakat tersebut.
Kehidupan sosial memiliki hukum dan akibat masing-masing.
Jika
dikaitkan dengan masalah diskriminasi kelompok agama minoritas di sidoarjo,
memang benar masyarakat dipandang sebagai fakta yang berdiri sendiri, terlepas
dari persoalan suka atau tidak suka. Namun pada kenyataannya, masalah suka dan
tidak suka ini mempengaruhi sikap masyarakat sehingga melahirkan sikap yang
kurang bahkan tidak adil terhadap individu maupun kelompok lain. Yang kedua, paradigma definisi sosial,
paradigma ini tidak berpijak pada fakta sosial yang obyektif, yaitu struktur
dan pranata sosial, melainkan pada proses berpikir manusia.
Dalam merancang dan mendefinisikan arti aksi
dan interaksi sosial, manusia di posisikan sebagai pelaku yang bebas dan
bertanggung jawab dengan kata lain aksi dan interaksi sosial terjadi karena
kemauan manusianya itu sendiri. Sehingga tindakan sosial tidak berpangkal pada
struktur-struktur sosial, namun pada definisi bersama yang dimiliki oleh
masing-masing individu. Memang, setiap perlakuan terjadi karena kemauan
individu sendiri, namun masyarakat maupun individu para pimpinan lokal maupun
pemerintah dapat memilah perilaku dan perlakuan seperti apa yang seharusnya di
berikan kepada orang lain, meskipun kelompok itu berbeda haluan dengan
masyarakat umumnya, namun hendaknya semua diperlakukan dengan adil atas dasar
kesetaraan agar tidak ada kesenjangan antara kaum mayoritas dan minoritas.
Yang ketiga, paradigma
perilaku sosial, paradigma ini tidak berpijak pada perbuatan sosial manusia,
atau manusia yang berinteraksi. Perbedaan yang spesifik dengan paradigma
definisi sosial yakni terdapat penekanan pada pendekatan obyektif empiris.
Alasan yang mendasarinya karena hanya perilaku lah yang dapat diamati dan di
pelajari dari luar. Fokus kajian dalam paradigma ini adalah para perilaku dan
perulangan perilaku.
Dalam
paradigma ini memandang bahwa keyakinan serta kebebasan manusia dipandang
semata-mata sebagai mitos karena manusia bertindak sesuai dengan kepentingannya
sendiri. Ya, hal ini sama halnya masalah yang terjadi di sidoarjo, mereka kaum
mayoritas bertindak berdasar kepentingannya sendiri tanpa mementingkan dan
memperdulikan kepentingan orang lain. Padahal orang lain atau kelompok lain
juga berhak merasakan kebebasan dan melaksankan kepentingannya. Pemerintah
sebagai lembaga yang memiliki wewenang dan kewajiban melindungi warga Negaranya
tanpa memandang suatu perbedaan apapun seharusnya mampu melindungi, bersikap
seadil-adilnya dan memberikan pelayanan apapun yang bisa diberikan. Namun
terkadang bukan hanya di sidoarjo, di daerah lainpun banyak, para masyarakat
dan pemerintah setempat cenderung lebih mengutamakan kepentingan pribadinya
dibandingkan mengutamakan kepentingan orang lain, bahkan walaupun hanya sekedar
memberikan hak kebebasan kepada yang berhak.
Sebagai
kelompok mayoritas seharusnya mampu memahami keadaan kelompok minoritas sebagai
bagian dari lingkungan sosial, dan sebagai kaum minoritas juga harus mampu
menjalin hubungan baik dengan masyarakat lain agar integrasi sosial tetap
terjaga.