Rabu, 30 November 2016

LOGIKA BERPIKIR : Antara Keraguan & Kepastian



LOGIKA BERPIKIR : Antara Keraguan & Kepastian

Hasil gambar untuk logika
Menurut Josep Morgalis (2012), keraguan dan kepastian bukan merupakan hal-hal yang hanya dalam psikologis melainkan hal-hal yang logis dan konseptual. Kita bertanya-tanya bukan hanya apakah keadaan mental tertentu dapat dihindari atau diteruskan, melainkan juga apakah kepercayaan kognitif kita dapat dibenarkan dan secara relevan dibebaskan dari tantangan. Permasalahannya, memengaruhi secara mendalam semua usaha mausia untuk pengetahuan; dan oleh karenanya menarik kita pada kompleksitas yang luar biasa dari hubungan antara keraguan dan kepastian di suatu sisi, disisi lain pengetahuan dengan kepercayaan.
Manusia selalu bertanya-tanya apakah mereka pernah berhak dapat melepaskan diri dari keraguan atau mencapai kepastian tentang kepercayaan mereka. Josef memberikan pandangan, ada tiga keraguan dalam filsafat yang pada akhirnya dapat memberikan kepastian, yakni : Pertama, keraguan psikologis dengan kepastian psikologi. Keraguan ini merupakan keadaan mental yang berbeda, paling tidak yang secara nominal relevan terhadap suatu proposisi yang berlaku dalam pengertian bahwa jika p merupakan suatu proposisi yang berlaku, maka seseorang jelas ada dalam keadaan ketidakpastian bahwa p yaitu benar, atau dalam suatu kedaan kepercayaan yang berbeda diantara kedua ekstrem tersebut.
Kedua, keraguan logis dengan kepastian logis. Secara kontral merupakan apa yang disebut keadaan logis atau fungsional,dalam pengertian dimana keadaan itutidak perlu secara psikologis diwujudkan menjadi yang relevan secara kognitif terhadap kepercayaan bahwa p  benar. Mengasumsikan bahwa kita mempunyai teori komprehensif dari peristiwa dan dasar-dasar yang memberikan untuk memercayai suatu proposisi, kita seharusnya menemukan provisi dalam teori itu untuk membenarkan keraguan dan kepastian yang berhubungan dengan kepercayaan. Jika p benar dan diketahui benar, maka secara umum, keraguan yang tergantung pada kebenaran dan pengetahuan akan p harus segera relevan maupun akan diangkat atau dihentikan.
Oleh karenanya, keraguan logis dan kepastian logismungkin merupakan kedaan pikira bahwa dengan jangkauan teori kita akan pengetahuan, secara relevan tergantung pada kebenaran suatu proposisi atau keberdirian suatu perantara yang dinyatakan benar tanpa bukti mengetahui atau jelas memercayai proposisi itu. Oleh karena itu, dengan jelas keraguan psikologis secara kognitif relevan jika dan hanya jika keraguan itu ungkapan dari keadaan dari keraguan logis.(penyesuaia diperlukan, sebagai yang akan kita lihat, untuk kepastian)
Ketiga, kerguan empiris dengan kepastian empiris. Paham ini memaknakan bahwa kebenaran dari suatu proposisi aritmetik, misalnya 8+7=15 yang kita kira pasti benar, juga tidak untuk mengatakan bahwa teori kognitif  hanya berhubungan dengan menghilangkan keraguan empiris  atau mencapai kepastian empiris. Karena sepenuhnya mungkin bahwa keraaguan logis bisa diformulasikan bahwa tidak ada manusia perantara yang sesungguhnya merupakan ungkapan darinya seperti keraguan empiris, atau sesungguhya merupakan  ungkapan darinya dalam suatu interval waktu yang ada.
Akan tetapi, untuk kembali pada pembedaan keadaan empiris dari kerguan dan kepastian, kita harus mengakui sesuatu ketidaksimetrisan berkenaan dengan jangkauan konsep pokok dari keraguan dan kepastian. Didasarkan pada kenyataan itu, terpaksa mengharuskan kita mengadopsi keeraguan itu sebagai suatu perantara rasional menuju kepastian.



Mukhtar latif. 2013. Filsafat Imu. Jakarta: KENCANA hlm.272

 

HAKIKAT LOGIKA



HAKIKAT LOGIKA
Hasil gambar untuk hakikat logika
Menurut Andre, Ata, dkk (2012), konsep logika atau logis sudah sering kita dengar dan kita gunakan. Dalam bahasa sehari-hari perkataan ‘logika’ atau ‘logis’ menunjukan cara berpikir atau cara hidup atau sikap hidup tertentu, yaitu yang masuk akal, yang “reasonable”, yang wajar, yang beralasan atau berargumen, yang ada rasionya atau hubungan rasionalnya, yang dapat dimenegerti, walaupun belum tentu disetujui atau tentang benar atau salah.
Dalam arti ilmiah, perkataan logika menunjukan pada suatu disiplin ilmu ; yang dimaksud disiplin disini yaitu disiplin ilmiah, yaitu kegiatan intelektual yang dipelajari untuk memperoleh pengetahuan dan pemahaman dalam bidang tertentu secara sistematik-rasional argumentative dan terorganisasi yang terkait atau tunduk pada aturan, prosedur, atau metode tertentu. Setiap disiplin mewujudkan ilmu atu cabang ilmu pengetahuan tertentu. Misalnya biologi, yaitu disiplin yang termasuk ilmu alam; mikrobiologi, yaitu suatu disiplin ilu atau subdisiplin yang termasuk dalam disiplin ilmu biologi.
Menurut Arief sidharta (2010), kata logika sering juga digunakan untuk bahasa percakapan sehari-hari. Kata itu memiliki beberapa pandangan arti dalam penggunaan secara umum, seperti ‘wajar’,dapat diterima atau bisa juga digunakan dalam arti kultur untuk menggambarkan sikap khas suatu kelompok masyarakat. Dalam konteks umum, kata logika sering diartikan sebagai “masuk akal, wajar, pantas bisa diterima, atau dapat dipahami”.
Dalam dunia akademis, logika sering juga dikenal sebagai salah satu nama mata kuliah yang diajarkan di perguruan tinggi, kalau diperguruan tinggi agama logika ini diidentikkan dengan mata kuliah ilmu mantik. Secara khusus, logika dalam konteks ilmiah kita temukan arti khusus dari logika dan sekaligus mengantarkan kita kepada alas an mengapa logika dipelajari secara formal. Ada dua pandangan yang dapat kita pahami dalam konteks ini. Pertama, Irving Copi seorang filsuf dari USA (2002) mengatakan, yaitu logika adalah studi tentang metode dan prinsip yang digunakan dalam membedakan penalaran yang baik dan benar dari dari penalaran yang buruk dan salah.
Pengertian ini meunjukkan bahwa mempelajari logika berarti mempelajari hokum dan prinsip berpikir yang mengatur atau melandasi dan sekaligus memberikan alas an mengapa suatu penlaran dapt diartikan sebagai sesuatu yang logis dan juga menjelaskan mengapa suatu penalaran harus dikatan sebagai tindak logis. Kedua, Norman Geisler dan Ronald Brooks (1990) mengatakan, bahwa logika yaitu kajian tentang penalaran yang benar atau menyimpulkan yang valid (sah) dan dapat mengenali adanya kesalahan berpikir baik secara formal maupun informal.
Dari dua paham yang dikemukakan ini, dapat kita katakana bahwa logika tidak hanya mengajarkan bagaimana suatu penyimpulan yang tepat, tetapi juga membuat kita waspada terhadap kemungkinan kesalahan yang kita lakukan dalam pembuatan kesimpulan. Dengan demikian, dapat kita pahami, pengertian logika menurut para pemikir atau filsuf diatas, dalam arti yang khusus, logika sebenarnya merupakan kajian dalam proses penalaran yang bertolak dari penerapa prinsip berpikir dalam suatu penalaran yang tepat, yang digunakan dalam membedakan penalaran yang baik dan benar dari penalaran yang buruk dan salah “sesat berpikir”.



Mukhtar latif. 2013. Filsafat Imu. Jakarta: KENCANA hlm.256



Objek Filsafat Ilmu



Objek Filsafat Ilmu

Menurut Louis kattsoff dalam mustofa (2009)nmengatakan, bahasa yang dipakai filsafat dan ilmu pengetahuan dalam beberapa hal saling melengkapi. Hanya saja bahsa yang dipakai dalam filsafat mencoba untuk membicarakan mengenai ilmu pengetahuan dan bukannya dalam ilmu pengetahuan. Namun apa yang harus dikatakan oleh seorang ilmuan mungkin penting pula oleh seorang filsuf. Pada dasrnya setiap ilmu memiliki dua macam objek, yaitu objek material dan objek formal. Objek material yaitu sesuatu yang dijadikan sasaran penyelidikan, seperti tubuh manusia, yaitu objek material ilmu kedokteran. Adapun objek formalnya yaitu metode untuk memahami objek material itu, seperti pendekatan deduktif dan induktif.
Lebih jauh Muhammad adib (2010) mengemukakan ilmu filsafat juga memliki objek material dan objek formal . objek material yaitu apa yang dipelajari dan dikupas sebagai bahan atau materi pembicaraan. Objek material yaitu objek yang dijdikan sasaran menyelidiki oleh suatu ilmu, atau objek yang dipelajari oleh ilmu itu. Objek material filsafat ilmu yaitu pengetahuan itu sendiri, yakni pengetahuan ilmiah “scientific knowledge” pengetahuan yang telah disusun secara sistematis dengan metode ilmiah tertentu, sehingga dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara umum. Adapun objek formal filsafat ilmu yaitu sudut pandang dari mana subjek menelaah objek materialnya.
Setiap ilmu pasti berbeda dalam objek formalnya. Objek formal filsafat ilmu yaitu hakikat (esensi) ilmu pengetahuan, artinya filsafat ilmu lebih menaruh perhatian terhadap problem mendasar ilmu pengetahuan, seperti apa hakikat ilmu itu sesungguhnya? Bagaimana cara memperoleh kebenaran ilmiah ? apa fungsi ilmu pengetahuan bagi manusia ? problem inilah yang dibicarakan dalam landasan pengembangan ilmu pengetahuan, yakni landasan ontologis , epistemologis , dan aksiologis.
Dalam pandangan ontologis pengembangan ilmu , titik tolak penelaan ilmu pengetahuan didasakan atas sikap dan pendirian filosofis yang dimiliki oleh seorang ilmuan. Sikap atau pendirian filosofis secara garis besar dapat dibedakan kedalam dua mainstream, aliran beasr yang sangat memengaruhi perkembangan ilmu pengetahuan, yaitu materialism dan spiritualisme. Materialism adalah suatu pandangan fisik yang menganggap bahwa tidak ada hal nyata selain materi. Spiritualisme adalah suatu pandangan metafisika yang menganggap kenyataan terdalam roh yang mengisi dan mendasari seluruh alam.
Perkembangan ilmu berdasarkan pada materialism cenderung pada ilmu-ilmu kealaman, dan menganggap bidang ilmunya sebagai pengembangan ilmu-ilmu lain. Dalam perkembangan ilmu modern, aliran ini disuarakan oleh aliran positivisme atau naturalise, sedangkan spiritualisme cenderung pada ilmu-ilmu kerohanian dan mengangap ilmunya sebagai wadah utama bagi titik tolak pengembangan bidang-bidang ilmu lain yang dikembangankan lebih banyak dalam paham keagamaan, sehingga lahir para filsuf agama.   


Mukhtar latif. 2013. Filsafat Imu. Jakarta: KENCANA h. 31
 

Selasa, 29 November 2016

DINAMIKA KEHIDUPAN KELOMPOK MINORITAS AGAMA/KEYAKINAN DI SIDOARJO




DINAMIKA KEHIDUPAN KELOMPOK MINORITAS AGAMA/KEYAKINAN DI SIDOARJO
DARI DISKRIMINASI HINGGA RESISTENSI

Sidoarjo merupakan salah satu kota industri yang berkedudukan sebagai penyokong kota Surabaya. Berbicara mengenai kota industri pastinya terdapat banyak sekali keberagaman pada masyarakatnya  baik itu suku, ras, maupun agama atau keyakinan. Namun kebanyakan masyarakat, seperti halnya di Sidoarjo, atas adanya perbedaan keyakinan menimbulkan adanya diskriminasi terhadap kaum minoritas. Diskriminasi merujuk pada pelayanan yang tidak adil terhadap individu atau kelompok tertentu, dimana layanan ini dibuat berdasarkan karakteristik yang diwakili oleh individu atau kelompok tersebut.
Diskriminasi merupakan suatu kejadian yang biasa di jumpai pada masyarakat,ini di sebabkan karena kecenderungan manusia untuk membeda-bedakan yang lain. Salah satu contoh yang telah dipaparkan adalah Jemaah Ahmadiyyah yang merasakan diskriminasi yang cukup kuat dari kaum mayoritas bahkan terhadap pemerintah daerah sendiri dengan alasan menganggap Ahmadiyyah merupakan aliran sesat sehingga pemerintah memperlakukan mereka dengan berbeda.
 Selain Ahmadiyyah, kaum minoritas lain (Non-muslim) juga merasakan hal yang sama, seperti masyarakat yang ber Agama Kristen, hindu, budha,dll yang merasakan betul diskriminasi terhadap kaum minoritas di sidoarjo seperti sulitnya perijinan pendirian rumah ibadah, tidak adanya bantuan sosial keagamaan, tidak adanya pengajaran keagamaan sesuai keyakinan siswa di sekolah, dan masih banyak lagi. Walaupun kaum minoritas ini merasakan ketidakadilan dari pemerintah daerahnya, namun mereka hanya memilih diam, tidak berontak, tidak menuntut sesuatu yang rumit dengan alasan tidak ingin ada masalah yang dapat menyebabkan integrasi yang sudah berjalan terganggu, mereka hanya ingin mempunyai hubungan baik dengan pemerintah dan tempat tinggal mereka tidak diusik, mereka bisa melakukan ibadah dengan tenang tanpa gangguan hingga mereka bisa diterima oleh lingkungan sosialnya.
Berbicara mengenai Agama, beberapa ahli berbeda dalam memberikan pandangannya mengenai Agama atau keyakinan. Menurut Karl marx, agama adalah candu bagi rakyat, Marx melihat agama sebagai sumber kebahagiaan, meskipun ilusi dan sementara atau setidaknya sumber penghiburan. Marx melihat agama sebagai bagian yang tidak perlu dari kebudayaan manusia. Jika dikaitkan dengan kejadian lokal di sidoarjo mengenai diskriminasi kelompok minoritas karena perbedaan agama/keyakinan, marx ada benarnya bahwa agama merupakan bagian yang tidak perlu dari kebudayaan jika agama hanya dijadikan sebagai alat untuk mendiskriminasi kelompok tertentu.
 Suatu agama atau keyakinan seharusnya menjadi pemersatu seperti yang di kemukakan oleh Emile Durkheim, ia mengatakan bahwa agama adalah instrumen solideritas sosial yang berfungsi untuk mengintegrasikan sistem sosial. Mengintegrasikan bagian-bagian yang terpisah bersama-sama dan menjadikannya satu kesatuan. Saya setuju dengan pandangan Emile durkeim tersebut karena memang agama itu seharusnya dijadikan sebagai suatu integrasi sosial bukan merupakan alat untuk mendiskriminasi suatu kelompok dan menimbulkan perpecahan. Max weber memandang agama seperti halnya Durkheim, mereka sama-sama melihat bahwa ada keterkaitannya dengan kehidupan sosial atau memberikan dampak dan pengaruh baik langsung maupun tidak terhadap realitas kehidupan manusia.
Jika pemerintah dan masyarakat sidoarjo berpikir bahwa agama merupakan sesuatu yang memiliki fungsi sendiri didalam kehidupan, maka persoalan agama mayoritas dan minoritas mau keyakinan-keyakinan lain tidak akan menjadi masalah yang menyebabkan salah satu pihak merasakan ketidakadilan atau diskriminasi kerena agama memiliki fungsi tersendiri terhadap kehidupan individu atau kelompok.
Membahas mengenai permasalahan sosial yang ada di masyarakat, tentunya berkaitan dengan tiga paradigma dalam sosiologi, yakni paradigma fakta sosial, paradigma definisi sosial, serta paradigma perilaku sosial. Paradigma dimaknai sebagai pandangan yang mendasar tentang apa yang menjadi pokok persoalan dalam ilmu pengetahuan.
Yang pertama,Paradigma fakta sosial, berdasarkan paradigma ini, masyarakat dipandang sebagai fakta yang berdiri sendiri, terlepas dari persoalan apakah individu suka atau tidak suka. Struktur masyarakat yang mencakup bentuk pengorganisasian, hierarki kekuasaan dan wewenang,peranan, nilai-nilai, pranata sosial merupakan suatu fakta yang terpisah dari individu, namun ikut mempengaruhi individu tersebut. Contoh penting paradigma fakta sosial digunakan Emile Durkheim, ia berpendapat bahwa hidup sosial manusia adalah fakta tersendiri yang tidak mungkin di mengerti berdasarkan ciri-ciri personal individudalam masyarakat tersebut. Kehidupan sosial memiliki hukum dan akibat masing-masing.
Jika dikaitkan dengan masalah diskriminasi kelompok agama minoritas di sidoarjo, memang benar masyarakat dipandang sebagai fakta yang berdiri sendiri, terlepas dari persoalan suka atau tidak suka. Namun pada kenyataannya, masalah suka dan tidak suka ini mempengaruhi sikap masyarakat sehingga melahirkan sikap yang kurang bahkan tidak adil terhadap individu maupun kelompok lain. Yang kedua, paradigma definisi sosial, paradigma ini tidak berpijak pada fakta sosial yang obyektif, yaitu struktur dan pranata sosial, melainkan pada proses berpikir manusia.
 Dalam merancang dan mendefinisikan arti aksi dan interaksi sosial, manusia di posisikan sebagai pelaku yang bebas dan bertanggung jawab dengan kata lain aksi dan interaksi sosial terjadi karena kemauan manusianya itu sendiri. Sehingga tindakan sosial tidak berpangkal pada struktur-struktur sosial, namun pada definisi bersama yang dimiliki oleh masing-masing individu. Memang, setiap perlakuan terjadi karena kemauan individu sendiri, namun masyarakat maupun individu para pimpinan lokal maupun pemerintah dapat memilah perilaku dan perlakuan seperti apa yang seharusnya di berikan kepada orang lain, meskipun kelompok itu berbeda haluan dengan masyarakat umumnya, namun hendaknya semua diperlakukan dengan adil atas dasar kesetaraan agar tidak ada kesenjangan antara kaum mayoritas dan minoritas.
 Yang ketiga, paradigma perilaku sosial, paradigma ini tidak berpijak pada perbuatan sosial manusia, atau manusia yang berinteraksi. Perbedaan yang spesifik dengan paradigma definisi sosial yakni terdapat penekanan pada pendekatan obyektif empiris. Alasan yang mendasarinya karena hanya perilaku lah yang dapat diamati dan di pelajari dari luar. Fokus kajian dalam paradigma ini adalah para perilaku dan perulangan perilaku.
Dalam paradigma ini memandang bahwa keyakinan serta kebebasan manusia dipandang semata-mata sebagai mitos karena manusia bertindak sesuai dengan kepentingannya sendiri. Ya, hal ini sama halnya masalah yang terjadi di sidoarjo, mereka kaum mayoritas bertindak berdasar kepentingannya sendiri tanpa mementingkan dan memperdulikan kepentingan orang lain. Padahal orang lain atau kelompok lain juga berhak merasakan kebebasan dan melaksankan kepentingannya. Pemerintah sebagai lembaga yang memiliki wewenang dan kewajiban melindungi warga Negaranya tanpa memandang suatu perbedaan apapun seharusnya mampu melindungi, bersikap seadil-adilnya dan memberikan pelayanan apapun yang bisa diberikan. Namun terkadang bukan hanya di sidoarjo, di daerah lainpun banyak, para masyarakat dan pemerintah setempat cenderung lebih mengutamakan kepentingan pribadinya dibandingkan mengutamakan kepentingan orang lain, bahkan walaupun hanya sekedar memberikan hak kebebasan kepada yang berhak.
Sebagai kelompok mayoritas seharusnya mampu memahami keadaan kelompok minoritas sebagai bagian dari lingkungan sosial, dan sebagai kaum minoritas juga harus mampu menjalin hubungan baik dengan masyarakat lain agar integrasi sosial tetap terjaga.