KONFLIK
Dalam
membahas berbagai situasi konflik, Coser membedakan konflik menjadi dua macam
yaitu:
a. Konflik Realistis
Konflik
realistis yaitu konflik yang berasal dari kekecewaan terhadap tuntutan runtutan
khusus yang terjadi dalam hubungan dan dari perkiraan kemungkinan keuntungan
para partisipan, yang di tujukan pada obyek yang dianggap mengecewakan. Konflik
realistis memiliki beberapa ciri antara lain:
Konflik
muncul dari frustasi atas tuntutan khusus dalam hubungan dan dari perkiraan
keuntungan anggota dan yang diarahkan pada objek frustasi. Di samping itu,
konflik merupakan keinginan untuk mandapatkan sesuatu (expectations of gains).
Konflik
merupakan alat-alat untuk mendapatkan hasil-hasil tertentu. Langkah-langkah
untuk mencapai hasil ini jelas disetujui oleh kebudayaan mereka. Dengan kata
lain, konflik realistis sebenarnya mengejar: power, status yang langka,
resources (sumber daya), dan nilai-nilai. Konflik akan berhenti jika aktor
dapat menemukan pengganti yang sejajar dan memuaskan untuk mendapatkan hasil
akhir.
Pada
konflik realistis terdapat pilihan-pilihan fungsional sebagai alat untuk
mencapai tujuan. Pilihan-pilihan amat bergantung pada penilaian partisipan atas
solusi yang selalu tersedia. Contoh dari konflik ini yaitu para karyawan yang
mengadakan pemogokan kerja melawan manajemen perusahaan sebagai aksi menuntut
kenaikan gaji.
b. Konflik Non Realistis.
Konflik
non realistis yaitu konflik yang bukan berasal dari tujuan tujuan saingan yang
antagonistis, melainkan dari kebutuhan untuk meredakan ketegangan, paling tidak
dari salah pihak. Contoh dari konflik ini yaitu: dalam masyarakat buta huruf,
pembalasan dendam lewat ilmu gaib sering merupakan bentuk konflik non
realisitis, sebagaimana halnya dengan pengkambinghitaman yang sering terjadi
dalam masyarakat yang telah maju. Dalam hubungan antar kelompok,
pengkambinghitaman digunakan untuk menggambarkan keadaan dimana seseorang tidak
melepaskan prasangka mereka melawan kelompok yang benar benar merupakan lawan,
melainkan menggunakan kelompok pengganti sebagai obyek prasangka.
Teori
konflik Ralf Dahrendorf merupakan separuh penerimaan, separuh penolakan, serta
modifikasi teori sosiologi Karl Marx. Karl Marx berpendapat bahwa pemilikan
dan Kontrol sarana- sarana berada dalam satu individu- individu yang sama.
KONFLIK
RALF DAHRENDORF
Menurut
Dahrendorf tidak selalu pemilik sarana- sarana juga bertugas sebagai pengontrol
apalagi pada abad kesembilan belas. Bentuk penolakan tersebut ia tunjukkan
dengan memaparkan perubahan yang terjadi di masyarakat industri semenjak abad
kesembilan belas. Diantaranya:
1.
Dekomposisi modal
Menurut
Dahrendorf timbulnya korporasi- korporasi dengan saham yang dimiliki oleh orang
banyak, dimana tak seorangpun memiliki kontrol penuh merupakan contoh dari dekomposisi
modal. Dekomposisi tenaga.
2.
Dekomposisi
Tenaga kerja
Pada
abad spesialisasi sekarang ini mungkin sekali seorang atau beberapa orang
mengendalikan perusahaan yang bukan miliknya, seperti halnya seseorang atau
beberapa orang yang mempunyai perusahaan tapi tidak mengendalikanya. Karena
zaman ini adalah zaman keahlian dan spesialisasi, manajemen perusahaan dapat
menyewa pegawai- pegawai untuk memimpin perusahaanya agar berkembang dengan
baik.
3.
Timbulnya kelas menengah baru
Pada
akhir abad kesembilan belas, lahir kelas pekerja dengan susunan yang jelas, di
mana para buruh terampil berada di jenjang atas sedang buruh biasa berada di
bawah.
Penerimaan
Dahrendorf pada teori konflik Karl Marx adalah ide mengenai pertentangan kelas
sebagai satu bentuk konflik dan sebagai sumber perubahan sosial. Kemudian
dimodifikasi oleh berdasarkan perkembangan yang terjadi akhir- akhir ini.
Dahrendorf mengatakan bahwa ada dasar baru bagi pembentukan kelas, sebagai
pengganti konsepsi pemilikan sarana produksi sebagai dasar perbedaan kelas itu.
Menurut Dahrendorf hubungan- hubungan kekuasaan yang menyangkut bawahan dan
atasan menyediakan unsur bagi kelahiran kelas.
Dahrendorf
mengakui terdapat perbedaan di antara mereka yang memiliki sedikit dan banyak
kekuasaan. Perbedaan dominasi itu dapat terjadi secara drastis. Tetapi pada
dasarnya tetap terdapat dua kelas sosial yaitu, mereka yang berkuasa dan yang
dikuasai. Dalam analisisnya Dahrendorf menganggap bahwa secara empiris,
pertentangan kelompok mungkin paling mudah di analisis bila dilihat sebagai
pertentangan mengenai ligitimasi hubungan- hubungan kekuasaan. Dalam setiap
asosiasi, kepentingan kelompok penguasa merupakan nilai- nilai yang merupakan
ideologi keabsahan kekuasannya, sementara kepentingan- kepentingan kelompok
bawah melahirkan ancaman bagi ideologi ini serta hubungan- hubungan sosial yang
terkandung di dalamnya.
Contoh: Kasus kelompok minoritas
yang pada tahun 1960-an kesadarannya telah memuncak, antara lain termasuk
kelompok- kelompok kulit hitam, wanita, suku Indian dan Chicanos. Kelompok
wanita sebelum tahun 1960-an merupakan kelompok semu yang ditolak oleh kekuasan
di sebagian besar struktur sosial di mana mereka berpartisipasi. Pada
pertengahan tahun 1960-an muncul kesadaran kaum wanita untuk menyamakan
derajatnya dengan kaum laki- laki.
KONFLIK
KARL MARX
Teori
konflik muncul sebagai reaksi dari munculnya teori struktural fungsional. Pemikiran yang paling berpengaruh atau menjadi dasar dari teori
konflik ini adalah pemikiran Karl Marx. Pada tahun 1950-an dan
1960-an, teori konflik mulai merebak. Teori konflik menyediakan alternatif
terhadap teori struktural fungsional.
Pada
saat itu Marx mengajukan konsepsi mendasar tentang masyarakat kelas dan
perjuangannya. Marx tidak mendefinisikan kelas secara panjang
lebar tetapi ia menunjukkan bahwa dalam masyarakat, pada abad ke- 19 di Eropa
di mana dia hidup, terdiri dari kelas pemilik modal (borjuis) dan kelas pekerja
miskin sebagai kelas proletar.[butuh rujukan] Kedua kelas ini berada dalam
suatu struktur sosial hirarkis, kaum borjuis melakukan eksploitasi terhadap
kaum proletar dalam proses produksi. Eksploitasi ini akan terus berjalan selama
kesadaran semu eksis (false consiousness) dalam diri proletar, yaitu berupa
rasa menyerah diri, menerima keadaan apa adanya tetap terjaga. Ketegangan
hubungan antara kaum proletar dan kaum borjuis mendorong terbentuknya gerakan
sosial besar, yaitu revolusi. Ketegangan tersebut terjadi jika kaum proletar
telah sadar akan eksploitasi kaum borjuis terhadap mereka.
SIMMEL
Simmel memandang pertikaian sebagai gejala
yang tidak mungkin dihindari dalam masyarakat. Struktur sosial dilihatnya
sebagai gejala yang mencakup pelbagai proses asosiatif dan disosiatif yang
tidak mungkin terpisah- pisahkan, namun dapat dibedakan dalam analisis.
Menurut Simmel konflik tunduk pada
perubahan. Coser mengembangkan proposisi dan memperluas konsep Simmel tersebut
dalam menggambarkan kondisi- kondisi di mana konflik secara positif membantu
struktur sosial dan bila terjadi secara negatif akan memperlemah kerangka
masyarakat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar