Selasa, 29 November 2016

KONFLIK : Coser, Dahrendorf, Marx, Simmel


KONFLIK
Hasil gambar untuk konflik



Dalam membahas berbagai situasi konflik, Coser membedakan konflik menjadi dua macam yaitu:

a.       Konflik Realistis

Konflik realistis yaitu konflik yang berasal dari kekecewaan terhadap tuntutan runtutan khusus yang terjadi dalam hubungan dan dari perkiraan kemungkinan keuntungan para partisipan, yang di tujukan pada obyek yang dianggap mengecewakan. Konflik realistis memiliki beberapa ciri antara lain:

Konflik muncul dari frustasi atas tuntutan khusus dalam hubungan dan dari perkiraan keuntungan anggota dan yang diarahkan pada objek frustasi. Di samping itu, konflik merupakan keinginan untuk mandapatkan sesuatu (expectations of gains).

Konflik merupakan alat-alat untuk mendapatkan hasil-hasil tertentu. Langkah-langkah untuk mencapai hasil ini jelas disetujui oleh kebudayaan mereka. Dengan kata lain, konflik realistis sebenarnya mengejar: power, status yang langka, resources (sumber daya), dan nilai-nilai. Konflik akan berhenti jika aktor dapat menemukan pengganti yang sejajar dan memuaskan untuk mendapatkan hasil akhir.

Pada konflik realistis terdapat pilihan-pilihan fungsional sebagai alat untuk mencapai tujuan. Pilihan-pilihan amat bergantung pada penilaian partisipan atas solusi yang selalu tersedia. Contoh dari konflik ini yaitu para karyawan yang mengadakan pemogokan kerja melawan manajemen perusahaan sebagai aksi menuntut kenaikan gaji.

b.       Konflik Non Realistis.

Konflik non realistis yaitu konflik yang bukan berasal dari tujuan tujuan saingan yang antagonistis, melainkan dari kebutuhan untuk meredakan ketegangan, paling tidak dari salah pihak. Contoh dari konflik ini yaitu: dalam masyarakat buta huruf, pembalasan dendam lewat ilmu gaib sering merupakan bentuk konflik non realisitis, sebagaimana halnya dengan pengkambinghitaman yang sering terjadi dalam masyarakat yang telah maju. Dalam hubungan antar kelompok, pengkambinghitaman digunakan untuk menggambarkan keadaan dimana seseorang tidak melepaskan prasangka mereka melawan kelompok yang benar benar merupakan lawan, melainkan menggunakan kelompok pengganti sebagai obyek prasangka.

Teori konflik Ralf Dahrendorf merupakan separuh penerimaan, separuh penolakan, serta modifikasi teori sosiologi Karl Marx. Karl Marx berpendapat bahwa pemilikan dan Kontrol sarana- sarana berada dalam satu individu- individu yang sama.

KONFLIK RALF DAHRENDORF

Menurut Dahrendorf tidak selalu pemilik sarana- sarana juga bertugas sebagai pengontrol apalagi pada abad kesembilan belas. Bentuk penolakan tersebut ia tunjukkan dengan memaparkan perubahan yang terjadi di masyarakat industri semenjak abad kesembilan belas. Diantaranya:

1.       Dekomposisi modal

Menurut Dahrendorf timbulnya korporasi- korporasi dengan saham yang dimiliki oleh orang banyak, dimana tak seorangpun memiliki kontrol penuh merupakan contoh dari dekomposisi modal. Dekomposisi tenaga.





2.      Dekomposisi Tenaga kerja

Pada abad spesialisasi sekarang ini mungkin sekali seorang atau beberapa orang mengendalikan perusahaan yang bukan miliknya, seperti halnya seseorang atau beberapa orang yang mempunyai perusahaan tapi tidak mengendalikanya. Karena zaman ini adalah zaman keahlian dan spesialisasi, manajemen perusahaan dapat menyewa pegawai- pegawai untuk memimpin perusahaanya agar berkembang dengan baik.

3.       Timbulnya kelas menengah baru

Pada akhir abad kesembilan belas, lahir kelas pekerja dengan susunan yang jelas, di mana para buruh terampil berada di jenjang atas sedang buruh biasa berada di bawah.

Penerimaan Dahrendorf pada teori konflik Karl Marx adalah ide mengenai pertentangan kelas sebagai satu bentuk konflik dan sebagai sumber perubahan sosial. Kemudian dimodifikasi oleh berdasarkan perkembangan yang terjadi akhir- akhir ini. Dahrendorf mengatakan bahwa ada dasar baru bagi pembentukan kelas, sebagai pengganti konsepsi pemilikan sarana produksi sebagai dasar perbedaan kelas itu. Menurut Dahrendorf hubungan- hubungan kekuasaan yang menyangkut bawahan dan atasan menyediakan unsur bagi kelahiran kelas.

Dahrendorf mengakui terdapat perbedaan di antara mereka yang memiliki sedikit dan banyak kekuasaan. Perbedaan dominasi itu dapat terjadi secara drastis. Tetapi pada dasarnya tetap terdapat dua kelas sosial yaitu, mereka yang berkuasa dan yang dikuasai. Dalam analisisnya Dahrendorf menganggap bahwa secara empiris, pertentangan kelompok mungkin paling mudah di analisis bila dilihat sebagai pertentangan mengenai ligitimasi hubungan- hubungan kekuasaan. Dalam setiap asosiasi, kepentingan kelompok penguasa merupakan nilai- nilai yang merupakan ideologi keabsahan kekuasannya, sementara kepentingan- kepentingan kelompok bawah melahirkan ancaman bagi ideologi ini serta hubungan- hubungan sosial yang terkandung di dalamnya.

            Contoh: Kasus kelompok minoritas yang pada tahun 1960-an kesadarannya telah memuncak, antara lain termasuk kelompok- kelompok kulit hitam, wanita, suku Indian dan Chicanos. Kelompok wanita sebelum tahun 1960-an merupakan kelompok semu yang ditolak oleh kekuasan di sebagian besar struktur sosial di mana mereka berpartisipasi. Pada pertengahan tahun 1960-an muncul kesadaran kaum wanita untuk menyamakan derajatnya dengan kaum laki- laki.

KONFLIK KARL MARX

Teori konflik muncul sebagai reaksi dari munculnya teori struktural fungsional. Pemikiran yang paling berpengaruh atau menjadi dasar dari teori konflik ini adalah pemikiran Karl Marx. Pada tahun 1950-an dan 1960-an, teori konflik mulai merebak. Teori konflik menyediakan alternatif terhadap teori struktural fungsional.

Pada saat itu Marx mengajukan konsepsi mendasar tentang masyarakat kelas dan perjuangannya. Marx tidak mendefinisikan kelas secara panjang lebar tetapi ia menunjukkan bahwa dalam masyarakat, pada abad ke- 19 di Eropa di mana dia hidup, terdiri dari kelas pemilik modal (borjuis) dan kelas pekerja miskin sebagai kelas proletar.[butuh rujukan] Kedua kelas ini berada dalam suatu struktur sosial hirarkis, kaum borjuis melakukan eksploitasi terhadap kaum proletar dalam proses produksi. Eksploitasi ini akan terus berjalan selama kesadaran semu eksis (false consiousness) dalam diri proletar, yaitu berupa rasa menyerah diri, menerima keadaan apa adanya tetap terjaga. Ketegangan hubungan antara kaum proletar dan kaum borjuis mendorong terbentuknya gerakan sosial besar, yaitu revolusi. Ketegangan tersebut terjadi jika kaum proletar telah sadar akan eksploitasi kaum borjuis terhadap mereka.


SIMMEL



    Simmel memandang pertikaian sebagai gejala yang tidak mungkin dihindari dalam masyarakat. Struktur sosial dilihatnya sebagai gejala yang mencakup pelbagai proses asosiatif dan disosiatif yang tidak mungkin terpisah- pisahkan, namun dapat dibedakan dalam analisis.

    Menurut Simmel konflik tunduk pada perubahan. Coser mengembangkan proposisi dan memperluas konsep Simmel tersebut dalam menggambarkan kondisi- kondisi di mana konflik secara positif membantu struktur sosial dan bila terjadi secara negatif akan memperlemah kerangka masyarakat.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar