Selasa, 29 November 2016

DINAMIKA KEHIDUPAN KELOMPOK MINORITAS AGAMA/KEYAKINAN DI SIDOARJO




DINAMIKA KEHIDUPAN KELOMPOK MINORITAS AGAMA/KEYAKINAN DI SIDOARJO
DARI DISKRIMINASI HINGGA RESISTENSI

Sidoarjo merupakan salah satu kota industri yang berkedudukan sebagai penyokong kota Surabaya. Berbicara mengenai kota industri pastinya terdapat banyak sekali keberagaman pada masyarakatnya  baik itu suku, ras, maupun agama atau keyakinan. Namun kebanyakan masyarakat, seperti halnya di Sidoarjo, atas adanya perbedaan keyakinan menimbulkan adanya diskriminasi terhadap kaum minoritas. Diskriminasi merujuk pada pelayanan yang tidak adil terhadap individu atau kelompok tertentu, dimana layanan ini dibuat berdasarkan karakteristik yang diwakili oleh individu atau kelompok tersebut.
Diskriminasi merupakan suatu kejadian yang biasa di jumpai pada masyarakat,ini di sebabkan karena kecenderungan manusia untuk membeda-bedakan yang lain. Salah satu contoh yang telah dipaparkan adalah Jemaah Ahmadiyyah yang merasakan diskriminasi yang cukup kuat dari kaum mayoritas bahkan terhadap pemerintah daerah sendiri dengan alasan menganggap Ahmadiyyah merupakan aliran sesat sehingga pemerintah memperlakukan mereka dengan berbeda.
 Selain Ahmadiyyah, kaum minoritas lain (Non-muslim) juga merasakan hal yang sama, seperti masyarakat yang ber Agama Kristen, hindu, budha,dll yang merasakan betul diskriminasi terhadap kaum minoritas di sidoarjo seperti sulitnya perijinan pendirian rumah ibadah, tidak adanya bantuan sosial keagamaan, tidak adanya pengajaran keagamaan sesuai keyakinan siswa di sekolah, dan masih banyak lagi. Walaupun kaum minoritas ini merasakan ketidakadilan dari pemerintah daerahnya, namun mereka hanya memilih diam, tidak berontak, tidak menuntut sesuatu yang rumit dengan alasan tidak ingin ada masalah yang dapat menyebabkan integrasi yang sudah berjalan terganggu, mereka hanya ingin mempunyai hubungan baik dengan pemerintah dan tempat tinggal mereka tidak diusik, mereka bisa melakukan ibadah dengan tenang tanpa gangguan hingga mereka bisa diterima oleh lingkungan sosialnya.
Berbicara mengenai Agama, beberapa ahli berbeda dalam memberikan pandangannya mengenai Agama atau keyakinan. Menurut Karl marx, agama adalah candu bagi rakyat, Marx melihat agama sebagai sumber kebahagiaan, meskipun ilusi dan sementara atau setidaknya sumber penghiburan. Marx melihat agama sebagai bagian yang tidak perlu dari kebudayaan manusia. Jika dikaitkan dengan kejadian lokal di sidoarjo mengenai diskriminasi kelompok minoritas karena perbedaan agama/keyakinan, marx ada benarnya bahwa agama merupakan bagian yang tidak perlu dari kebudayaan jika agama hanya dijadikan sebagai alat untuk mendiskriminasi kelompok tertentu.
 Suatu agama atau keyakinan seharusnya menjadi pemersatu seperti yang di kemukakan oleh Emile Durkheim, ia mengatakan bahwa agama adalah instrumen solideritas sosial yang berfungsi untuk mengintegrasikan sistem sosial. Mengintegrasikan bagian-bagian yang terpisah bersama-sama dan menjadikannya satu kesatuan. Saya setuju dengan pandangan Emile durkeim tersebut karena memang agama itu seharusnya dijadikan sebagai suatu integrasi sosial bukan merupakan alat untuk mendiskriminasi suatu kelompok dan menimbulkan perpecahan. Max weber memandang agama seperti halnya Durkheim, mereka sama-sama melihat bahwa ada keterkaitannya dengan kehidupan sosial atau memberikan dampak dan pengaruh baik langsung maupun tidak terhadap realitas kehidupan manusia.
Jika pemerintah dan masyarakat sidoarjo berpikir bahwa agama merupakan sesuatu yang memiliki fungsi sendiri didalam kehidupan, maka persoalan agama mayoritas dan minoritas mau keyakinan-keyakinan lain tidak akan menjadi masalah yang menyebabkan salah satu pihak merasakan ketidakadilan atau diskriminasi kerena agama memiliki fungsi tersendiri terhadap kehidupan individu atau kelompok.
Membahas mengenai permasalahan sosial yang ada di masyarakat, tentunya berkaitan dengan tiga paradigma dalam sosiologi, yakni paradigma fakta sosial, paradigma definisi sosial, serta paradigma perilaku sosial. Paradigma dimaknai sebagai pandangan yang mendasar tentang apa yang menjadi pokok persoalan dalam ilmu pengetahuan.
Yang pertama,Paradigma fakta sosial, berdasarkan paradigma ini, masyarakat dipandang sebagai fakta yang berdiri sendiri, terlepas dari persoalan apakah individu suka atau tidak suka. Struktur masyarakat yang mencakup bentuk pengorganisasian, hierarki kekuasaan dan wewenang,peranan, nilai-nilai, pranata sosial merupakan suatu fakta yang terpisah dari individu, namun ikut mempengaruhi individu tersebut. Contoh penting paradigma fakta sosial digunakan Emile Durkheim, ia berpendapat bahwa hidup sosial manusia adalah fakta tersendiri yang tidak mungkin di mengerti berdasarkan ciri-ciri personal individudalam masyarakat tersebut. Kehidupan sosial memiliki hukum dan akibat masing-masing.
Jika dikaitkan dengan masalah diskriminasi kelompok agama minoritas di sidoarjo, memang benar masyarakat dipandang sebagai fakta yang berdiri sendiri, terlepas dari persoalan suka atau tidak suka. Namun pada kenyataannya, masalah suka dan tidak suka ini mempengaruhi sikap masyarakat sehingga melahirkan sikap yang kurang bahkan tidak adil terhadap individu maupun kelompok lain. Yang kedua, paradigma definisi sosial, paradigma ini tidak berpijak pada fakta sosial yang obyektif, yaitu struktur dan pranata sosial, melainkan pada proses berpikir manusia.
 Dalam merancang dan mendefinisikan arti aksi dan interaksi sosial, manusia di posisikan sebagai pelaku yang bebas dan bertanggung jawab dengan kata lain aksi dan interaksi sosial terjadi karena kemauan manusianya itu sendiri. Sehingga tindakan sosial tidak berpangkal pada struktur-struktur sosial, namun pada definisi bersama yang dimiliki oleh masing-masing individu. Memang, setiap perlakuan terjadi karena kemauan individu sendiri, namun masyarakat maupun individu para pimpinan lokal maupun pemerintah dapat memilah perilaku dan perlakuan seperti apa yang seharusnya di berikan kepada orang lain, meskipun kelompok itu berbeda haluan dengan masyarakat umumnya, namun hendaknya semua diperlakukan dengan adil atas dasar kesetaraan agar tidak ada kesenjangan antara kaum mayoritas dan minoritas.
 Yang ketiga, paradigma perilaku sosial, paradigma ini tidak berpijak pada perbuatan sosial manusia, atau manusia yang berinteraksi. Perbedaan yang spesifik dengan paradigma definisi sosial yakni terdapat penekanan pada pendekatan obyektif empiris. Alasan yang mendasarinya karena hanya perilaku lah yang dapat diamati dan di pelajari dari luar. Fokus kajian dalam paradigma ini adalah para perilaku dan perulangan perilaku.
Dalam paradigma ini memandang bahwa keyakinan serta kebebasan manusia dipandang semata-mata sebagai mitos karena manusia bertindak sesuai dengan kepentingannya sendiri. Ya, hal ini sama halnya masalah yang terjadi di sidoarjo, mereka kaum mayoritas bertindak berdasar kepentingannya sendiri tanpa mementingkan dan memperdulikan kepentingan orang lain. Padahal orang lain atau kelompok lain juga berhak merasakan kebebasan dan melaksankan kepentingannya. Pemerintah sebagai lembaga yang memiliki wewenang dan kewajiban melindungi warga Negaranya tanpa memandang suatu perbedaan apapun seharusnya mampu melindungi, bersikap seadil-adilnya dan memberikan pelayanan apapun yang bisa diberikan. Namun terkadang bukan hanya di sidoarjo, di daerah lainpun banyak, para masyarakat dan pemerintah setempat cenderung lebih mengutamakan kepentingan pribadinya dibandingkan mengutamakan kepentingan orang lain, bahkan walaupun hanya sekedar memberikan hak kebebasan kepada yang berhak.
Sebagai kelompok mayoritas seharusnya mampu memahami keadaan kelompok minoritas sebagai bagian dari lingkungan sosial, dan sebagai kaum minoritas juga harus mampu menjalin hubungan baik dengan masyarakat lain agar integrasi sosial tetap terjaga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar